DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..............................................................................................................
i
KATA PENGANTAR...........................................................................................................
ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah................................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................................
1
1.3 Tujuan..........................................................................................................................
1
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Peradilan
Agama..........................................................................................
2
2.2 Sejarah Peradilan
Agama Di Indonesia..........................................................................
3
2.3 Hukum Materil Dan
Formil Peradilan Agama.................................................................
4
2.4 Prosedur Beracara di
pengadilan Agama.......................................................................
6
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................
15
3.2 Saran............................................................................................................................
15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peradilan Agama
merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaankehakiman di Indonesia. Peradilan Agama adalah salah satu
daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan
perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui
lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pengertian Peradilan Agama.
1.2.2 Penjelasan Secara
Singkat Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia.
1.2.3 Maksud Dari Hukum Materil Dan Hukum Formil.
1.2.4 Prosedur Beracara di Pengadilan Agama.
1.3 Tujuan
1.3.1 Bisa
mengetahui tentang Peradilan Agama dan sumber-sumber Peradilan Agama
1.3.2 Mengetahui
tata cara beracara di peradila agama mulai dari pendaftaran, persidangan ,
sampai putusan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Peradilan Agama
Didalam kamus besar bahasa Indonesia peradilan adalah segala sesuatu
mengenai perkara peradilan. Dalam ilmu hukum Indonesia sebagai terjemahan dari rechtpraak
dalam bahasa belanda yang berarti peradilan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi
orang-orang yang beragama islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama
menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Bisa disimpulkan bahwa
Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan
atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama
islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peradilan
Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan khakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah badan
peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan Mengadili Peradilan Agama dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Kewenangan
Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kemenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak
untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut ‘’Atribut Van
Rechsmacth’’. Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam
dan perkawinanya dilakukan secara Islam menjadi Kewenangan absolute Pengadilan
Agama.
2.
Kewenangan
Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang
menyangkut wilayah/daerah hukum (yuridiksi) hal ini dikaitkan dengan tempat
tingal pihak-pihak berperkara. Dalam istilah lain di sebut ‘’Distribute van
Rechmacth’’. Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam istilah latin
disebut dengan istilah ‘’Actor Sequitur Forum Rei’’
2.2 Sejarah Peradilan agama Di Indonesia
Peradilan di
Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum kemerdekaan, system
peradilan sudah lahir. Sebelum datang islam ke Indonesia telah ada dua macam peradilan yaitu Peradilan
Perdata dan Peradilan Padu. Materi hukum perdata bersumber dari ajaran hindu
ditulis dalam pepakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan Hukum materiil
tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan.
Pada masa kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan
secara resmi pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan staatblad No. 152 yang merupakan pengakuan
resmi terhadap ekstitensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia. Karena
staatblad ini tidak berjalan efektif karena pengaruh teori reseptie ,maka
pada tahun 1937 keluarlah staatblad 1937 No. 166. Staatblad ini mencabut
wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan
masalah-masalah yang lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak
itulah kompetisi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan, perceraian. Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat
melaksanakan keputusan sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari
Peradilan Negri.
Peradilan Agama Sebelum Kemerdekaan
·
Staatsblaad
1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya saja disebutkan
bahwa wewenang Peradilan Agama itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi
ruang lingkup wewenang Peradilan Agama adalah hal-hal yang berhubungan dengan
perkawinan, talak, rujuk, wakaf, dan
warisan.
·
Staatblaad
1937 No. 116 (jawa dan Madura ): Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa
perselisihan antara suami istri yang beragama islam dan perkara-perkara lain
yang berkenan dengan nikah, talak, dan rujuk.
Peradilan Agama Setalah Kemerdekaan
Peradilan Agama
No. 45 Tahun 1957: Peradilan Agama berwenang mengadili perkara nikah, talak, rujuk,
fasakh, nafkah, mahar, masakan (tempat kediaman), muth’ah,
hadanah, waris, hibah, shadaqoh,
baitul maal. SK Menag No. 6 Tahun 1980 : Nama untuk Peradilan tingkat pertama
yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 49 s/d 53 UU
No. 7 Tahun 1989: ”Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
islam di bidang perkawainan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum islam serta wakaf dan shadaqah.
Kewenangan Peradilan Agama saat ini
Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006: ”Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang
memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di tinkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
2.3 Hukum Materiil Dan Hukum formil Peradilan Agama
Hukum Materiil Peradilan
Agama
Hukum Materiil
Peradilan Agama adalah hukum islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai
fiqih, yang sudah jelas tentang perbedaan pendapat.
Hukum Materiil
Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif)
dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulam
fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiakultural berbeda, sering
menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk
mengeliminasai perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum maka hukum-hukum
materil dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan.
Berikut adalah
hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis
berdasar tahun pengesahanya:
1.
UU
No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 1954 yang mengatur hukum perkawinan, talak, dan
rujuk.
2.
Surat
Biro pengadilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1968 yang merupakan
pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa
dan Madura.
Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa untuk
mendapatkan kesatuan hukum materil dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka
para hakim Peradilan Agama/Mahkamah
syari’ah di anjurkan agar menggunakan sebagai rujukan beberapa 13 kitab karya
ulama terdahulu.
Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkndung di dalamnya bukan
merupakan hukum tertulis sebagaimana perundang-undangan yang dibuat oleh
eksekutif dan legislatif. Bagi yang berpendapat bahwa hukum positif adalah
hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi pedoman PA masih dianggap sebagai
hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini
dilegalisasi dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami,
dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. maka Indonesia merintis
Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Mentreri Agama No.
07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan
Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. dimulai dengan inilah dilakukan pengumpulan
data, wawancara dengan para ulama’, melakukan lokakarya dan hasil kajian, menelaah
kitab-kitab dan study banding dengan Negara-negara lain. Setelah data-data
terkumpul dan diolah dan menjadi naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama
kepada Presiden pada tanggal 14 Maret 1988 dengan syarat No. MA/123/1988
tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis
sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan
Peradilan Agam di Indonesia. Kebutuhan hukum islam yang sagat mendesak, nampaknya
Kompilasi Hukum islam belum juga terbentuk sebagai undang-undang,sehinggah
munculah inpres (Intruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991 (Tanggal 19 Juni
1991)tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dengan diikuti SK. Mahkamah
Agung No. 154 Tahun 1991 yang intinya mengajak seluruh jajaran Departemen Agama
dan Instansi Pemerintah lainya untuk menyebarluaskan dan melaksanakan Kompilasi
Hukum Islam yang berisikan perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagai pedoman
penyelesaian masalah-masalah hukum Islam
yang terjadi dalam masyarakat.
Hukum Formil Peradilan
Agama
Kata formil
berarti ‘’bentuk’’ atau ‘’cara’’, maksudnya hukum yang mengutamakan pada
kebenaran bentuk dan kebenaran cara. Oleh sebab itu dalam beracara di muka
pengadilan tidaklah cukup hanya mengetahui materi hukum sajatetapi lebih dari
itu, dengan cara yang sudah diatur dalam undang-undang.
Sejak masa
Pemerintahan Belanda telah dibentuk Peradilan Agama di Jawa Dan Madura dengan
stbl.1882 No. 152jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan
stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian pemerintah membentuk Peradilan Agama di
luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957.
2.4
Prosedur Beracara Di Pengadilan Agama
A. Administrasi Perkara
Pendaftaran Perkara
Pertama : Pihak
bererkara datang ke Pengadilan Agama dengan mebawa surat gugatan atau
permohonan.
Kedua : Pihak berperkara menghadap petugas meja pertama dan menyerahkan
surat gugatan atau pemohonan, minimal 2 rangkap.
Ketiga : Petugas meja pertama memberikan penjelasan yang berkenan dan
menaksir panjar biaya perkara kemudian ditulis dalam surat kuasa untuk membayar
(SKUM).
Keempat : Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau
permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar
(SKUM).
Kelima : Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat
gugatan atau permohonan tersebut dan SKUM.
Keenam : Pemagang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan
dalam surat gugatan atau permohonan.
Ketujuh : Pemohon/kuasanya membayar
ke bank dengan membawa SKUM.
Kedelapan : Bukti pembayaran ditambah SKUM, surat gugatan atau permohonan
dibawah ke pengadilan
Kesembilan : kepemegang kas untuk dibukukan dalam buku jurnal keuangan
perkara gugatan atau permohonan dan diberi cap lunas dan SKUM diberi nomor urut
buku jurnal tersebut.
Kesepuluh : Berkas diserahkan kepada pemohon/kuasanya untuk dibawa ke meja
2.
Kesebelas : MEJA 2 mencatat perkara tersebut dalam buku Register Induk
gugatan/permohonan sesuai nomor perkara dalam SKUM.
Keduabelas : pemohon di beri 1 rangkap surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar ditambah SKUM rangkap
pertama.
B.
Pelaksanaan Persidangan
1. Ketentuan Persidangan
Konfirmasi
identitas para pihak
Majelis hakim mengkorfirmasi
identitas para pihak untuk memastikan bahwa yang hadir benar pihak yang
tercantum dalam surat gugatan.
Penelitian
Relas Panggilan
Jika
salah satu pihak tiadak hadir, ketua majelis hakim meneliti keabsahan surat
panggilan. Jika surat tidak sah, maka diperintahkan juru sita untuk memanggil
kembali pihak yang tidak hadir.
Upaya Damai
Yaitu upaya majelis hakim untuk
mendamaika kedua belah pihak yang berperkara dengan memberikan arahan atau nasehat.
Mediasi
Yaitu salah satu proses penyelesaian
sengketa yang lebih cepat dan murah,serta dapat memberikan skses yang lebih
besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi
keadilan. Oleh karna itu mak perluya dijelaskan tentang cara mediasi dan segala
ketentuanya yang di atur dalam Mahkamah Agung RI Nomor : 01 Tahun 2008 Tentang
Prosedur Mediasi dipengadilan
A. Tahap Pra Mediasi.
1.
Pada
Hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan para pihak
untuk menempuh mediasi
2.
Hakim
menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi
paling lama 40 Hari kerja.
3.
Hakim
menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa.
4.
Para
pihak memilih mediator dari daftar nama yang telah tersedia, pada Hari sidang
Pertama atau paling lama 2 Hari kerja berikutnya.
5.
Apabila
dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat bersepakat
memilih mediator yang dikehendaki. Ketua hakim segera menunjuk hakim bukan
pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator.
B. Tahap Proses Mediasi
1.
Dalam
waktu paling lama 5 Hari kerja setelah pera pihak menunjuk mediator yang disepakati
atau setalah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing-masing pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk.
2.
Proses Mediasi paling lama 40 hari kerja
mediator dipilih oleh pihak atau ditunjuk oleh Majelis Hakim.
3.
Mediator
wajib mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk disepakati
4.
Bila
dianggap perlu Mediator dapatmelakukan “Kaukus”.
5.
Mediator
berkewajiban menyatakan mediasi gagal jika salah satu pihak atau para pihak
atau para Kuasa Hukumnya 2 kali berturut-urut tidak menghadiri pertemuan
mediasi sesuai jadwal yang telah disepakati tanpa alas an setelah dipanggil
secara patut.
C. Mediasi Mencapai
Kesepakatan
1.
Jika
mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara tertulis
dan ditandatangani oleh pihak dan mediator.
2.
Jika
mediasi diwakili oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara tertulis
persetujuan atau kesepakatan yang disapai.
3.
Para
pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari sidang yang telah ditentuka
untuk memberi tahukan kesepakatan perdamaian tersebut.
4.
Para
pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada Hakim untuk dikuatkan
dalam bentuk “Akta perdamaian”.
5.
Apabila
para pihak tidak menghendaki kesepakatan
perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta perdamaian maka harus memuat clausula
pencabutan Gugatan dan atau clausula yang menyatakan perkara telah selesai.
D. Mediasi Tidak Mencapai
Kesepakatan.
1.
Jika
Mediasi tida menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secar tertulis
bahwa proses mediasi telah gagal dan meberi tahukan kegagalan tersebut kepada
Hakim
2.
Pada
tiap tahapan pemeriksaa perkara Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk
mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
3.
Jika
mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak
dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.
E. Tempat Penyelenggaraan
Mediasi.
1.
Mediator
Hakim tidak boleh menyelenggarakan Mediasi di luar pengadilan.
2.
Penyelenggaraan
mediasi disalah satu ruang Pengadilan Agama tidak dikenakan biaya.
F. Perdamaian di tingkat
Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali.
1.
Para
pihak yang bersepakat menempuh perdamaian di tigkat Banding/kasasi/ peninjauan
kembali wajib mnyampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan Agama yang mengadili.
2.
Ketua
pengadila Agama yang mengadili segera memberi tahukan kepada ketua pengadilan
tinggi agama (bagi perkara Banding) atau Ketua Mahkamah Agung (bagi perkara Kasai
dan peninjauan kembali) tentan kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
3.
Hakim
Banding /Kasasi /peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang
bersangkutan selama 14 hari kerja sejak menerima pemberitahuan tersebut.
4.
Para
pihak melalui ketua Pengadilan Agama dapat mengajukan Kesepakatan perdamaian
secara tertulis kepada Majelis Hakim Banding /Kasasi /peninjauan kembali untuk
dikuatkan dalam Akta perdamaian.
5.
Akta
perdamaian ditandatangani oleh Majelis Hakim Banding /Kasasi /peninjauan kembali
dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak dicatat dalam Register Induk
Perkara.
Tahap Pembuktian
Pada tahap pembuktian ini para pihak
menyampaika bukti-bukti dalam meneguhkan dalil gugatannya atau bertahannya.
Bukti yang diajukan para pihak adakalanya dalam bentuk surat (bukti tertulis)
saja. Adakalanya saksi saja dan adakalanya bukti surat dan saksi-saksi.
Cara memeriksa surat bukti
Para pihak menyerahkan foto copy
yang telah dinegazalen (dimeterialkan kemudian) dan telah dilegalisasi sesuai
dengan aslinya oleh penitera PA/MS kepada ketua mejelis hakim disertai dengan aslinya. Kemudian ketua
majelis hakim mencocokkan foto copy
dengan aslinya. Lalu ketua majelis memberi kode pada sudut kanan atas foto copy
tersebut yaitu P1 untuk penggugt (dan seterusnya) dan T1 untuk tergugat (dan
seterusnya).
Cara memeriksa saksi
·
Saksi
dipanggil keruang sidang saatu persatu.
·
Saksi
duduk antara tergugat dan penggugat.
·
Hakim
menanyakan identitas lengkap dari saksi.
·
Menayanyaka
hubungan saksi dengan penggugat dan tergugat.
·
Menanyakan
kesediaannya bersumpah sebelum memberi keterangan .
2.
Berita Acara Persidangan (BAP)
Berita
acara sidang ini merupakan akta autentik yang dibuat secara resmi oleh pejabat
yang berwenang yang berisi tentang proses pelaksanaan suatu perkara dalam
persidangan, sebagai dasar mejelis hakim dala membuat putusan terhadap perkara
yang diadilinya. Sebagai yang telah ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) dan (3)
R.Bg.
3. Rapat PMH
Setelah para pihak menyampaikan kesimpulan akhir (konklusi), maka
majelis hakim bermusyawarah dalam suatu rapat yang bersifat rahasia (bisa dalam
ruang sidang atau ruang kerja). Dalam rapat permusyawaratan yang didengar
pertama adalah pendapat hakim anggota yang paling mudah (junior), dan yang terahir mejelis hakim. Setelah itu hasil putusan
dirumuskan dalam rapat permusyawaratan tersebut, apabila terdapat perbedaab
pendapat, maka suara terbanyak menjadi putusan majelis.
4. Putusan
Pembacaan putusan hakim
harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dibacaka secara bergantian
antara ketua majelis hakim dan dua hakim anggotanya. Untuk pembacaan amar
putusan langsung dibacakan oleh ketua majelis hakim, karena setelah selesai
amar putusan akan diikuti dengam ketukan palu yang dilakukan ketua majelis
hakim itu sendiri.
5. Pemberitahuan isi putusan
Jika penggugat atau
tergugat tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan, maka panitera/panitera
pengganti harus memberitahu isi putusan tersebut kepada para pihak yang tidak
hadir. Jika para pihak tidak diketahui alamatnya diseluruh wilayah RI, maka
pemberitahuan dilakukan melalui pemerintah daerah tingkat II untuk diumumkan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Bahwa
Peradilan Agama sebelum Indonesia merdeka telah ada Peradilan Agama. Ada dua
macam peradilan yaitu Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Materi hukum
perdata bersumber dari ajaran hindu ditulis dalam pepakem. Sedangkan Peradilan
Padu menggunakan Hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan. Adalah
suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan
perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama islam melalui
lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan sumber-sumber peradilan baik
hukum materil dan hukum formil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar