Sabtu, 14 Desember 2013

asas asas peradilan agama



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
            Asas umum  peradilan agama adalah untuk sekedar membedakan dengan asas khusus yang melekat pada suatu masalah tertentu. Asas ini menjadi pedoman umum dalam melaksanakan penerapan semangat Undang-Undang dan keseluruhan
1.2 Rumusan Masalah
            1.2.1 sebutkan asas-asas peradilan agama...?
1.3 Tujuan    
            1.3.1 mengetahui asas-asas peradilan agama.
















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas-asas hukum peradilan agama
            Inti dari hiku terletak pada asasnya yang kemudian diformulasikan menjadi perangkat peraturan perundan-undangan begitu juga dengan peradilan agama, terutama pada saat beracara di pengadilan agama, makaharus memperhatikan asas-asas sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tenteng peradilan agama. Adapun asas yang berlaku pada peradilan agamahampir sama dengan asas-asas yang berlaku diperadilan umum.
     1. Asas personalitas keislaman
            Asas pesonalitas keislaman hanya untuk melayani penelesaian perkara dibidang tertentu sebagaimana yang tertuang dalam pasal 49 Undang-undang 3 Tahun 2006 yaitu menyelesaikan perkara perkawinan, zakat, waris, hibah, sedekah, dan ekonomi syariah dari rakyat Indonesia yang beragama Islam. Dengan kata lain keislaman seoranglah yang menjadi dasar kewenangan pengadilan di lingkungan perdilan agama.
     2. Asas kebebasan/kemerdekaan
            Asas kebebasan adalah asas yang dimiliki oleh setiap badan perdilan. Kebebasan yang dimaksud disini adalah tidak boleh ada pihak lain yang ikut campur tangan dalam penanganan suatu perkara oleh pengadilan atau majelis hukum. Ikut campur tangan ini contohnya berupa pemaksaan, diretiva atau rekomendasi atau yang datang dari pihak ekstra yudisial, ancaman, dan lain sebagainya. Asas ini dapat ditemui dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 Thun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
     3. Asas tidak menolak perkara yang hukumnya tidak ada
            Hakim adalah yang dianggap paling tau mengenai hukum sehingga apabila seorang hakim tidak menemukan hukum tertulis maka ia harus berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis untk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana tanggung jawab penuh kepad Tuhan yang Maha esa, diri sendiri, masyrakat , bangsa dan Negara. Dasar hukum mengenai hal ini tedapat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.
            Dalam bahasa latin ketentuan ini dikenal dengan sebutan ius curia novit yang artinya dianggap tau akan hukum sehingga apapun permasalahan yang diajukan kepadanya maka iya wajib mencari hukumnya. Wajib mengenali nilai nilai yang hidup dalam  masyarakat dengan kata lain hakim disini sebagai pembentuk hukum.
     4. Asas hukum wajib mendamaikan
            Penyelesaian terbaik dalam suatu permasalahan adalah dengan jalan damai. Islan lebih mengutamakan jalan perdamaian dalam menyelesaikan permasalahan sebelum perkara tersebut diselesaikan di pengadilan. Karena keputusan pengadilan dapat menimbulkan dendam bagi pihak yang dikalahkan. Jadi sebelum menyelesaikan suatu masalah atau perkara tersebut dengan keputusan pengadilan, hakim wajim mendamaikan terlebih dahulu, jika hal ini tidak dilakukan maka keputusan yang dilakukan hakim batal demi hukum.
     5. Asas sederhana cepet dan biaya ringan.
            Asas ini tertuang dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Beracara cepat, sederhana, dan biaya ringan merupakan dambaan dari setiap orang pencari keadilan, sehingga apabla peradilan agama kurang optimal dalm mewujudkan asas ini maka orang akan enggan beracara di pengadilan agama.
     6. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak.
            Berdasarkan pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yaitu bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang. Dalam acara hukum perdata asas ini dikenal dengan audi et alteram parten yang berarti bahwa pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan sama dengan adil, masing-masing harus diberi kesempatan yang sama dalam memberikan pendapatnya.
            Tidak membeda-bedakan hukum dalam istilah sistem hukum anglo saxon adalah equality before the law yang artinya bahwa setiap orang mempunyai persamaan kedudukan di bawah hukum. Sedangkan lawan dari asas ini adalah diskriminasi yang berarti membeda-bedakan hak dan kedudukan dalam sidang pengadilan.
     7. Asas persidangan terbuka untuk umum
            Menurut ketenyuan pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 bahwa sidang pemeriksaan perkara perdata harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk. Umum tujuan dari asas ini adalah untuk menghindari terjadinya penyimpangan proses pemeriksaan. Seperti berat sebelah, hakim bertindak sewenang-wenang. Dengan demikian sidang terbuka untuk umum ini diharapkan agar :
1.      Dapat menjamin adanya social control atau tugas yang dilaksanakan oleh hakim, sehingga hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak memihak.
2.      Untuk memberikan edukasi dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa.
3.      Masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk.
            Pengecualian dari asas ini adalah pada perkara-perkara tertentu yang menurut sifatnya rahasia/privat antara lain terhadap sengketa perceraian, perkara anak dan sebagainya. Meskipun sidang terbuka untuk umum khusus untuk rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
            Konsekuensi yuridis jika asas ini tdak dipenuhi, misalkan dalam awal tidak dinyatakan bahwa sidang terbuka untuk umum atau dalam putusan tidak ada kata kata diputuskan dalam sidang terbuka untuk umum, maka sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat 2 putusan perkara tersebut bersifat batal demi hukum.
     8. Asas Hakim Wajib Memberikan Bantuan.
            Artinya haikm harus membantu secara aktif kepada pencari keadilan dan berusaha bersungguh-sungguh dan sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
     9. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis
            Asas ini secara eksplisit dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 yang menyatakan bahwa pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim, kecuali undang-undang menentukan hal lain. Diantara ketiga hakim tersebut salah satunya menjadi ketua majelis hakim dan berwenang untuk memimpin jalannya sidang peradilan.
            Tujuan diadakan sidang peradilan harus majelis hakim adalah untuk menjamin pemeriksaan yang subjektif mungkin, guna memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan. Jika dalam hal ini tidak ada kesepakatan dalam rapat permusyawaratan hakim, maka putusan diambil dengan cara voting. Sementara jika ada keputusan yang berbeda maka keputusan tersebut tetap dilampirkan dalam putusan yang bersangkutan.











BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Kesimpulan dari pembahasan di atas bahwasanya di dalam  peradilan agama mepunyai asas-asas atau pokok yang harus di laksanakan oleh peradilan agama sebagaimana yang tercantum diatas.
3.2 Saran
            Penulis menyarankan untuk menggunakan makalah ini sebagai acuan yang mutlak karena makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh Karena itu penulis menyarankan kepada semua pembaca makalah ini untuk mencari sumber-sumber lain untuk menyempurnakan makalah ini.     


















DAFTAR PUSTAKA
Ali.Oktoda makalah asas-asas umum peradilan agama, tesedia ://http.simba corp.blogspot.com./2012/03/makalah asas asas umum peradilan agama. (20 Maret 2012)
http//gokil8.wordpress.com/2011/04/13/asas hukum peradilan agama.(13 April 2011)

Selasa, 05 November 2013

kalam imam ghozaly

@bila lhat orang jahil, anggaplah mereka lebih mulia krn mrka berbuat dosa karna kejahilan, sedangkan kita berdosa karna dalam keadaan mengetahuinya
@bila berjumpa kanak kanak anggaplah mereka lebih mulia daripada kita karna mereka belum d bebani dosa
@bila bertemu oran tua anggaplah mereka lbih mulia karna merea lama beribadah dan bertaubat dari pada kita
@bila berjumpa dengan orang alim anggaplah mereka lbih mulia  karna bnyak ilmu dan ibadat mereka
@bila berjumpa dengan orang jahat, anggap kita mulia , katakm,,,,. mungkin orang itu  akan bertaubat pada masa tuanya, sedangkan kita belum tetntu bagaiman kehidupan kita
@bila bertemu orang kafir katakan,,, belum tentu dia akan kafir selam-lamanya

Senin, 04 November 2013

mata ilmu: peradilan agama

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
     1.1 Latar Belakang Masalah................................................................................................ 1
     1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
     1.3 Tujuan.......................................................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
     2.1 Pengertian Peradilan Agama.......................................................................................... 2        
     2.2 Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia.......................................................................... 3
     2.3 Hukum Materil Dan Formil Peradilan Agama................................................................. 4
     2.4 Prosedur Beracara di pengadilan Agama....................................................................... 6
BAB III
PENUTUP
     3.1 Kesimpulan................................................................................................................... 15
     3.2 Saran............................................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................  16

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaankehakiman di Indonesia. Peradilan Agama adalah salah satu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Pengertian Peradilan Agama.
1.2.2 Penjelasan  Secara Singkat Sejarah Peradilan Agama Di Indonesia.
1.2.3 Maksud Dari Hukum Materil Dan Hukum Formil.
1.2.4 Prosedur Beracara di Pengadilan Agama.
1.3 Tujuan
            1.3.1 Bisa mengetahui tentang Peradilan Agama dan sumber-sumber Peradilan Agama
            1.3.2 Mengetahui tata cara beracara di peradila agama mulai dari pendaftaran, persidangan , sampai  putusan.





BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Peradilan Agama
Didalam kamus besar bahasa Indonesia peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara peradilan. Dalam ilmu  hukum Indonesia sebagai terjemahan dari rechtpraak dalam bahasa belanda yang berarti peradilan. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Bisa disimpulkan  bahwa Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan khakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.  Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kewenangan Mengadili Peradilan Agama dibagi menjadi dua yaitu :
1.      Kewenangan Mutlak (Absolute Competensi) yaitu kemenangan yang menyangkut kekuasaan mutlak untuk mengadili suatu perkara, artinya perkara tersebut hanya bisa diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Agama. Dalam istilah lain disebut ‘’Atribut Van Rechsmacth’’. Contoh perkara perceraian bagi orang-orang yang beragama Islam dan perkawinanya dilakukan secara Islam menjadi Kewenangan absolute Pengadilan Agama.
2.      Kewenangan Relatif (Relative Competensi) yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang menyangkut wilayah/daerah hukum (yuridiksi) hal ini dikaitkan dengan tempat tingal pihak-pihak berperkara. Dalam istilah lain di sebut ‘’Distribute van Rechmacth’’. Pengadilan yang berhak mengadili suatu perkara dalam istilah latin disebut dengan istilah ‘’Actor Sequitur Forum Rei’’
2.2 Sejarah Peradilan agama Di Indonesia
            Peradilan di Indonesia mempunyai sejarah yang cukup panjang, jauh sebelum kemerdekaan, system peradilan sudah lahir. Sebelum datang islam ke Indonesia  telah ada dua macam peradilan yaitu Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Materi hukum perdata bersumber dari ajaran hindu ditulis dalam pepakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan Hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan.
Pada masa kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan secara resmi pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan  staatblad No. 152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap ekstitensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia. Karena staatblad ini tidak berjalan efektif karena pengaruh teori reseptie ,maka pada tahun 1937 keluarlah staatblad 1937 No. 166. Staatblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah-masalah yang lain yang berhubungan dengan harta benda, terutama tanah. Sejak itulah kompetisi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan, perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusan sendiri, melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negri.
Peradilan Agama Sebelum Kemerdekaan
·        Staatsblaad 1882 No. 152 tidak disebutkan secara tegas kewenangan PA, hanya saja disebutkan bahwa wewenang Peradilan Agama itu berdasarkan kebiasaan dan biasanya menjadi ruang lingkup wewenang Peradilan Agama adalah hal-hal yang berhubungan dengan perkawinan,  talak, rujuk, wakaf, dan warisan.
·        Staatblaad 1937 No. 116 (jawa dan Madura ): Peradilan Agama hanya berwenang memeriksa perselisihan antara suami istri yang beragama islam dan perkara-perkara lain yang berkenan dengan nikah, talak, dan rujuk.
Peradilan Agama Setalah Kemerdekaan
            Peradilan Agama No. 45 Tahun 1957: Peradilan Agama berwenang mengadili perkara nikah, talak, rujuk, fasakh, nafkah, mahar, masakan (tempat kediaman),  muth’ah,  hadanah, waris, hibah,  shadaqoh, baitul maal. SK Menag No. 6 Tahun 1980 : Nama untuk Peradilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Agama. Tingkat Banding Pengadilan Tinggi Agama.
            Pasal 49 s/d 53 UU No. 7 Tahun 1989: ”Peradilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawainan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam serta wakaf dan shadaqah.
Kewenangan Peradilan Agama saat ini
            Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006: ”Pengadilan Agama bertugas dan berwewenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di tinkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
2.3 Hukum Materiil Dan Hukum formil Peradilan Agama
     Hukum Materiil Peradilan Agama
            Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqih, yang sudah jelas tentang perbedaan pendapat.
            Hukum Materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulam fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiakultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasai perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum maka hukum-hukum materil dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
            Berikut adalah hukum materil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahanya:
1.      UU No. 22 Tahun 1946 dan UU No. 1954 yang mengatur hukum perkawinan, talak, dan rujuk.
2.      Surat Biro pengadilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum materil dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka para hakim Peradilan  Agama/Mahkamah syari’ah di anjurkan agar menggunakan sebagai rujukan beberapa 13 kitab karya ulama terdahulu.
Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang terkndung di dalamnya bukan merupakan hukum tertulis sebagaimana perundang-undangan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Bagi yang berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi pedoman PA masih dianggap sebagai hukum yang secara riil berlaku dalam masyarakat adalah hukum positif. Hal ini dilegalisasi dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. maka Indonesia merintis Kompilasi Hukum Islam dengan SKB Mahkamah Agung RI dan Mentreri Agama No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 tentang Pelaksanaan Pembentukan Kompilasi Hukum Islam. dimulai dengan inilah dilakukan pengumpulan data, wawancara dengan para ulama’, melakukan lokakarya dan hasil kajian, menelaah kitab-kitab dan study banding dengan Negara-negara lain. Setelah data-data terkumpul dan diolah dan menjadi naskah kompilasi diajukan oleh Menteri Agama kepada Presiden pada tanggal 14 Maret 1988 dengan syarat No. MA/123/1988 tentang Pembentukan Kompilasi Hukum Islam guna memperoleh landasan yuridis sebagai pedoman untuk menyelesaikan perkara yang diajukan pada lingkungan Peradilan Agam di Indonesia. Kebutuhan hukum islam yang sagat mendesak, nampaknya Kompilasi Hukum islam belum juga terbentuk sebagai undang-undang,sehinggah munculah inpres (Intruksi Presiden) No. 1 Tahun 1991 (Tanggal 19 Juni 1991)tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam. Dengan diikuti SK. Mahkamah Agung No. 154 Tahun 1991 yang intinya mengajak seluruh jajaran Departemen Agama dan Instansi Pemerintah lainya untuk menyebarluaskan dan melaksanakan Kompilasi Hukum Islam yang berisikan perkawinan, kewarisan dan perwakafan sebagai pedoman penyelesaian masalah-masalah  hukum Islam yang terjadi dalam masyarakat.

     Hukum Formil Peradilan Agama
            Kata formil berarti ‘’bentuk’’ atau ‘’cara’’, maksudnya hukum yang mengutamakan pada kebenaran bentuk dan kebenaran cara. Oleh sebab itu dalam beracara di muka pengadilan tidaklah cukup hanya mengetahui materi hukum sajatetapi lebih dari itu, dengan cara yang sudah diatur dalam undang-undang.
Sejak masa Pemerintahan Belanda telah dibentuk Peradilan Agama di Jawa Dan Madura dengan stbl.1882 No. 152jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan stbl. 1937 No. 638 dan 639, kemudian pemerintah membentuk Peradilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan dengan PP No. 45 Tahun 1957.
2.4 Prosedur Beracara Di Pengadilan Agama
A. Administrasi Perkara
     Pendaftaran Perkara
Pertama : Pihak bererkara datang ke Pengadilan Agama dengan mebawa surat gugatan atau permohonan.
Kedua : Pihak berperkara menghadap petugas meja pertama dan menyerahkan surat gugatan atau pemohonan, minimal 2 rangkap.
Ketiga : Petugas meja pertama memberikan penjelasan yang berkenan dan menaksir panjar biaya perkara kemudian ditulis dalam surat kuasa untuk membayar (SKUM).
Keempat : Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM).
Kelima : Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan SKUM.
Keenam : Pemagang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan atau permohonan.
Ketujuh : Pemohon/kuasanya  membayar ke bank dengan membawa SKUM.
Kedelapan : Bukti pembayaran ditambah SKUM, surat gugatan atau permohonan dibawah ke pengadilan
Kesembilan : kepemegang kas untuk dibukukan dalam buku jurnal keuangan perkara gugatan atau permohonan dan diberi cap lunas dan SKUM diberi nomor urut buku jurnal tersebut.
Kesepuluh : Berkas diserahkan kepada pemohon/kuasanya untuk dibawa ke meja 2.
Kesebelas : MEJA 2 mencatat perkara tersebut dalam buku Register Induk gugatan/permohonan sesuai nomor perkara dalam SKUM.
Keduabelas : pemohon di beri 1 rangkap surat gugatan/permohonan  yang telah terdaftar ditambah SKUM rangkap pertama.
B. Pelaksanaan Persidangan
     1. Ketentuan Persidangan
Konfirmasi identitas para pihak
            Majelis hakim mengkorfirmasi identitas para pihak untuk memastikan bahwa yang hadir benar pihak yang tercantum dalam surat gugatan.
Penelitian Relas Panggilan
            Jika salah satu pihak tiadak hadir, ketua majelis hakim meneliti keabsahan surat panggilan. Jika surat tidak sah, maka diperintahkan juru sita untuk memanggil kembali pihak yang tidak hadir.
Upaya Damai
            Yaitu upaya majelis hakim untuk mendamaika kedua belah pihak yang berperkara dengan memberikan arahan atau nasehat.
Mediasi
            Yaitu salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah,serta dapat memberikan skses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi keadilan. Oleh karna itu mak perluya dijelaskan tentang cara mediasi dan segala ketentuanya yang di atur dalam Mahkamah Agung RI Nomor : 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi dipengadilan
  A. Tahap Pra Mediasi.
1.      Pada Hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi
2.      Hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan proses mediasi paling lama 40 Hari kerja.
3.      Hakim menjelaskan prosedur mediasi kepada para pihak yang bersengketa.
4.      Para pihak memilih mediator dari daftar nama yang telah tersedia, pada Hari sidang Pertama atau paling lama 2 Hari kerja berikutnya.
5.      Apabila dalam jangka waktu tersebut dalam point 4 para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator yang dikehendaki. Ketua hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara untuk menjalankan fungsi mediator.
  B. Tahap Proses Mediasi
1.      Dalam waktu paling lama 5 Hari kerja setelah pera pihak menunjuk mediator yang disepakati atau setalah ditunjuk oleh Ketua Majelis Hakim, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada Hakim Mediator yang ditunjuk.
2.       Proses Mediasi paling lama 40 hari kerja mediator dipilih oleh pihak atau ditunjuk oleh Majelis Hakim.
3.      Mediator wajib mempersiapkan jadwal pertemuan mediasi kepada para pihak untuk disepakati
4.      Bila dianggap perlu Mediator dapatmelakukan “Kaukus”.
5.      Mediator berkewajiban menyatakan mediasi gagal jika salah satu pihak atau para pihak atau para Kuasa Hukumnya 2 kali berturut-urut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal yang telah disepakati tanpa alas an setelah dipanggil secara patut.
  C. Mediasi Mencapai Kesepakatan
1.      Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian maka wajib dirumuskan secara tertulis dan ditandatangani oleh pihak dan mediator.
2.      Jika mediasi diwakili oleh Kuasa Hukum para maka pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atau kesepakatan yang disapai.
3.      Para pihak wajib menghadap kembali kepada Hakim pada hari sidang yang telah ditentuka untuk memberi tahukan kesepakatan perdamaian tersebut.
4.      Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada Hakim untuk dikuatkan dalam bentuk “Akta perdamaian”.
5.      Apabila para pihak tidak  menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk Akta perdamaian maka harus memuat clausula pencabutan Gugatan dan atau clausula yang menyatakan perkara telah selesai.
  D. Mediasi Tidak Mencapai Kesepakatan.
1.      Jika Mediasi tida menghasilkan kesepakatan, Mediator wajib menyatakan secar tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan meberi tahukan kegagalan tersebut kepada Hakim
2.      Pada tiap tahapan pemeriksaa perkara Hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan.
3.      Jika mediasi gagal, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan.
  E. Tempat Penyelenggaraan Mediasi.
1.      Mediator Hakim tidak boleh menyelenggarakan Mediasi di luar pengadilan.
2.      Penyelenggaraan mediasi disalah satu ruang Pengadilan Agama tidak dikenakan biaya.
  F. Perdamaian di tingkat Banding, Kasasi, dan Peninjauan kembali.
1.      Para pihak yang bersepakat menempuh perdamaian di tigkat Banding/kasasi/ peninjauan kembali wajib mnyampaikan secara tertulis kepada ketua pengadilan Agama yang mengadili.
2.      Ketua pengadila Agama yang mengadili segera memberi tahukan kepada ketua pengadilan tinggi agama (bagi perkara Banding) atau Ketua Mahkamah Agung (bagi perkara Kasai dan peninjauan kembali) tentan kehendak para pihak untuk menempuh perdamaian.
3.      Hakim Banding /Kasasi /peninjauan kembali wajib menunda pemeriksaan perkara yang bersangkutan selama 14 hari kerja sejak menerima pemberitahuan tersebut.
4.      Para pihak melalui ketua Pengadilan Agama dapat mengajukan Kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada Majelis Hakim Banding /Kasasi /peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam Akta perdamaian.
5.      Akta perdamaian ditandatangani oleh Majelis Hakim Banding /Kasasi /peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak dicatat dalam Register Induk Perkara.
Tahap Pembuktian
            Pada tahap pembuktian ini para pihak menyampaika bukti-bukti dalam meneguhkan dalil gugatannya atau bertahannya. Bukti yang diajukan para pihak adakalanya dalam bentuk surat (bukti tertulis) saja. Adakalanya saksi saja dan adakalanya bukti surat dan saksi-saksi.
Cara memeriksa surat bukti
            Para pihak menyerahkan foto copy yang telah dinegazalen (dimeterialkan kemudian) dan telah dilegalisasi sesuai dengan aslinya oleh penitera PA/MS kepada ketua mejelis  hakim disertai dengan aslinya. Kemudian ketua majelis hakim  mencocokkan foto copy dengan aslinya. Lalu ketua majelis memberi kode pada sudut kanan atas foto copy tersebut yaitu P1 untuk penggugt (dan seterusnya) dan T1 untuk tergugat (dan seterusnya).
Cara memeriksa saksi
·        Saksi dipanggil keruang sidang saatu persatu.
·        Saksi duduk antara tergugat dan penggugat.
·        Hakim menanyakan identitas lengkap dari saksi.
·        Menayanyaka hubungan saksi dengan penggugat dan tergugat.
·        Menanyakan kesediaannya bersumpah sebelum memberi keterangan .
      2. Berita Acara Persidangan (BAP)
            Berita acara sidang ini merupakan akta autentik yang dibuat secara resmi oleh pejabat yang berwenang yang berisi tentang proses pelaksanaan suatu perkara dalam persidangan, sebagai dasar mejelis hakim dala membuat putusan terhadap perkara yang diadilinya. Sebagai yang telah ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) dan (3) R.Bg.
     3. Rapat PMH
Setelah para pihak menyampaikan kesimpulan akhir (konklusi), maka majelis hakim bermusyawarah dalam suatu rapat yang bersifat rahasia (bisa dalam ruang sidang atau ruang kerja). Dalam rapat permusyawaratan yang didengar pertama adalah pendapat hakim anggota yang paling mudah (junior),  dan yang terahir  mejelis hakim. Setelah itu hasil putusan dirumuskan dalam rapat permusyawaratan tersebut, apabila terdapat perbedaab pendapat, maka suara terbanyak menjadi putusan majelis.
4. Putusan
       Pembacaan putusan hakim harus dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum. Dibacaka secara bergantian antara ketua majelis hakim dan dua hakim anggotanya. Untuk pembacaan amar putusan langsung dibacakan oleh ketua majelis hakim, karena setelah selesai amar putusan akan diikuti dengam ketukan palu yang dilakukan ketua majelis hakim itu sendiri.
5. Pemberitahuan isi putusan
       Jika penggugat atau tergugat tidak hadir dalam sidang pembacaan putusan, maka panitera/panitera pengganti harus memberitahu isi putusan tersebut kepada para pihak yang tidak hadir. Jika para pihak tidak diketahui alamatnya diseluruh wilayah RI, maka pemberitahuan dilakukan melalui pemerintah daerah tingkat II untuk diumumkan.












BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa Peradilan Agama sebelum Indonesia merdeka telah ada Peradilan Agama. Ada dua macam peradilan yaitu Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Materi hukum perdata bersumber dari ajaran hindu ditulis dalam pepakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan Hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan. Adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan sumber-sumber peradilan baik hukum materil dan hukum formil.